IBNU C.R

IBNU C.R

Minggu, 03 April 2011

Implementasi wawasan nusantara dan tantangan wawasan nusantara

mplementasi atau penerapan wawasan nusantara harus tercermin pada pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yangsenantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan kata lain, wawasan nusantara menjadi pola yang mendasari cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam rangka menghadapi berbagai masalah menyangkut kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara. Implementasi wawasan nusantara senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara utuh dan menyeluruh sebagai berikut :
1. Wawasan Nusantara sebagai Pancaran Falsafah Pancasila
Falsafah Pancasila diyakini sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang sesuai dengan aspirasinya. Keyakinan ini dibuktikan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak awal proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai sekarang. Dengan demikian wawasan nusantara menjadi pedoman bagi upaya mewujudkan kesatuan aspek kehidupan nasional untuk menjamin kesatuan, persatuan dan keutuhan bangsa, serta upaya untuk mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia.
2. Wawasan Nusantara dalam Pembangunan Nasional
a. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik
Bangsa Indonesia bersama bangsa-bangsa lain ikut menciptakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi melalui politik luar negeri yang bebas aktif. Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan politik akan menciptakan iklim penyelenggaraan negara yang sehat dan dinamis. Hal tersebut tampak dalam wujud pemerintahan yang kuat aspiratif dan terpercaya yang dibangun sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.
b. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Ekonomi
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan ekonomi akan menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Di samping itu, implementasi wawasan nusantara mencerminkan tanggung jawab pengelolaa sumber daya alam yang memperhatikan kebutuhan masyarakat antar daerah secara timbal balik serta kelestarian sumber daya alam itu sendiri.
1) Kekayaan di wilayah nusantara, baik potensial maupun efektif, adalah modal dan milik bersama bangsa untuk memenuhi kebutuhan di seluruh wilayah Indonesia secara merata.
2) Tingkat perkembangan ekonomi harus seimbang dan serasi di seluruh daerah tanpa mengabaikan ciri khas yang memiliki daerah masing-masing.
3) Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah nusantara diselenggarakan sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan dalam sistem ekonomi kerakyatan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
c. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial Budaya
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan sosial budaya akan menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui segala bentuk perbedaan sebagai kenyataan hidup sekaligus karunia Tuhan. Implementasi ini juga akan menciptakan kehidupan masyarakat dan bangsa yang rukun dan bersatu tanpa membedakan suku, asal usul daerah, agama, atau kepercayaan,serta golongan berdasarkan status sosialnya. Budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu kesatuan dengan corak ragam budaya yang menggambarkan kekayaan budaya bangsa. Budaya Indonesia tidak menolak nilai-nilai budaya asing asalkan tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa sendiri dan hasilnya dapat dinikmati.
d. Perwujudan Kepulauan Nusantara Sebagai Satu Kesatuan Pertahanan dan keamanan
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan pertahanan dan keamanan akan menumbuhkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa, yang lebih lanjut akan membentuk sikap bela negara pada tiap warga negara Indonesia. Kesadaran dan sikap cinta tanah air dan bangsa serta bela negara ini menjadi modal utama yang akan mengerakkan partisipasi setiap warga negara indonesia dalam menghadapi setiap bentuk ancaman antara lain :
1) Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakikatnya adalah ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara.
2) Tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk ikut serta dalam pertahanan dan keamanan Negara dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.
3. Penerapan Wawasan Nusantara
a. Salah satu manfaat paling nyata dari penerapan wawasan nusantara. Khususnya di bidang wilayah. Adalah diterimanya konsepsi nusantara di forum internasional. Sehingga terjaminlah integritas wilayah territorial Indonesia. Laut nusantara yang semula dianggap “laut bebas” menjadi bagian integral dari wilayah Indonesia.
b. Pertambahan luas wilayah sebagai ruang lingkup tersebut menghasilkan sumber daya alam yang mencakup besar untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
c. Pertambahan luas wilayah tersebut dapat diterima oleh dunia internasional terutama negara tetangga yang dinyatakan dengan persetujuan yang dicapai.
d. Penerapan wawasan nusantara dalam pembangunan negara di berbagai bidang tampak pada berbagai proyek pembangunan sarana dan prasarana ekonomi, komunikasi dan transportasi.
e. Penerapan di bidang sosial dan budaya terlihat pada kebijakan untuk menjadikan bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika tetap merasa sebangsa, setanah air, senasib sepenanggungan dengan asas pancasila.
f. Penerapan wawasan nusantara di bidang pertahanan keamanan terlihat pada kesiapsiagaan dan kewaspadaan seluruh rakyat melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta untuk menghadapi berbagai ancaman bangsa dan Negara.
Dewasa ini kita menyaksikan bahwa kehidupan individu dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sedang mengalami perubahan. Dan kita juga menyadari bahwa faktor utama yang mendorong terjadinya proses perubahan tersebut adalah nilai-nilai kehidupan baru yang di bawa oleh negara maju dengan kekuatan penetrasi globalnya. Apabila kita menengok sejarah kehidupan manusia dan alam semesta, perubahan dalam kehidupan itu adalah suatu hal yang wajar, alamiah.
Dalam dunia ini, yang abadi dan kekal itu adalah perubahan. Berkaitan dengan wawasan nusantara yang syarat dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dan di bentuk dalam proses panjang sejarah perjuangan bangsa, apakah wawasan bangsa Indonesia tentang persatuan dan kesatuan itu akan terhanyut tanpa bekas atau akan tetap kokoh dan mampu bertahan dalam terpaan nilai global yang menantang Wawasan Persatuan bangsa. Tantangan itu antara lain adalah pemberdayaan rakyat yang optimal, dunia yang tanpa batas, era baru kapitalisme, dan kesadaran warga negara. (dari berbagai sumber)

Wawasan Nusantara

Wawasan nasional suatu bangsa dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dianutnya. Beberapa teori paham kekuasaan dan teori geopolitik. Perumusan wawasan nasional lahir berdasarkan pertimbangan dan pemikiran mengenai sejauh mana konsep operasionalnya dapat diwujudkan dan dipertanggungjawabkan.
Teori-teori yang dapat mendukung rumusan tersebut antara lain:

a. Paham Machiavelli (Abad XVII)
Dalam bukunya tentang politik yang diterjemahkan kedalam bahasa dengan judul “The Prince”, Machiavelli memberikan pesan tentang cara membentuk kekuatan politik yang besar agar sebuah negara dapat berdiri dengan kokoh. Didalamnya terkandung beberapa postulat dan cara pandang tentang bagaimana memelihara kekuasaan politik. Menurut Machiavelli, sebuah negara akan bertahan apabila menerapkan dalil-dalil berikut: pertama, segala cara dihalalkan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan; kedua, untuk menjaga kekuasaan rezim, politik adu domba (divide et impera) adalah sah; dan ketiga, dalam dunia politik (yang disamakan dengan kehidupan binatang buas ), yang kuat pasti dapat bertahan dan menang. Semasa Machiavelli hidup, buku “The Prince” dilarang beredar oleh Sri Paus karena dianggap amoral. Tetapi setelah Machiavelli meninggal, buku tersebut menjadi sangat dan banyak dipelajari oleh orang-orang serta dijadikan pedoman oleh banyak kalangan politisi dan para kalangan elite politik.

b. Paham Kaisar Napoleon Bonaparte (abad XVIII)
Kaisar Napoleon merupakan tokoh revolusioner di bidang cara pandang, selain penganut baik dari Machiavelli. Napoleon berpendapat bahwa perang di masa depan akan merupakan perang total yang mengerahkan segala upaya dan kekuatan nasional. Kekuatan ini juga perlu didukung oleh kondisi sosial budaya berupa ilmu pengetahuan teknologi demi terbentuknya kekuatan hankam untuk menduduki dan menjajah negara-negara disekitar Prancis. Ketiga postulat Machiavelli telah diimplementasikan dengan sempurna oleh Napoleon, namun menjadi bumerang bagi dirinya sendiri sehingg akhir kariernya dibuang ke Pulau Elba.

c. Paham Jendral Clausewitz (XVIII)
Pada era Napoleon, Jenderal Clausewitz sempat terusir oleh tentara Napoleon dari negaranya sampai ke Rusia. Clausewitz akhirnya bergabung dan menjadi penasihat militer Staf Umum Tentara Kekaisaran Rusia. Sebagaimana kita ketahui, invasi tentara Napoleon pada akhirnya terhenti di Moskow dan diusir kembali ke Perancis. Clausewitz, setelah Rusia bebas kembali, di angkat menjadi kepala staf komando Rusia. Di sana dia menulis sebuah buku mengenai perang berjudul Vom Kriege (Tentara Perang). Menurut Clausewitz, perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain. Baginya, peperangan adalah sah-sah saja untuk mencapai tujuan nasional suatu bangsa. Pemikiran inilah yang membenarkan Rusia berekspansi sehingga menimbulkan perang Dunia I dengan kekalahan di pihak Rusia atau Kekaisaran Jerman.

Teori-Teori Geopolitik
  1. Friedrich Ratzel (1844-1904)Dalam bukunya Politische Geographie (1897) dan Laws of the spatial Growth of States (1986) berisi pondasi geopolitik. Ratzel—pendiri German school of Geopolitik menekankan bahwa state merupakan badan organis yang secara natural tumbuh ( misal bertambah luas batasnya) seolah Ratzel berusaha menghubungkan teori seleksi alam Darwin tentang ruang melalui teori negara organis. Ia melihat ekspansi Amerika terhadap tanah Indian sebagai hal serupa ketika Jerman mengembangkan teritorinya sepanjang daratan Slavia, Eropa timur. Lebih lanjut, Ratzel menegaskan state tidak bersifat statis melainkan tumbuh secara natural, batas menjadi analogi sederhana dari kulit yang bisa meluruh. Untuk itu, Ratzel menjadi orang pertama yang memperkenalkan istilah lebensraum (livingspace). Salah satu kutipan Ratzel yang paling terkenal adalah: “There is in this small planet, sufficient space for only one great state.”
  2.  James Burnham (1941).Burnham memainkan peran utama dalam mengembangkan geopolitik antikommunisme di era Perang Dingin. The Struggle for World (1947), pada awalnya dirancang sebagai studi rahasia untuk Office of Strategic Services (para pendahulu CIA) pada 1944, dan dimaksudkan untuk digunakan oleh delegasi Amerika Serikat pada Konferensi Yalta . Saat itu, dia bersikeras, “sebuah aksioma geopolitik bahwa jika ada satu daya berhasil mengatur [Eurasia] Heartland dan hambatan luar, kekuatan itu pasti akan menguasai dunia.” Mengikuti Mackinder, Burnham menyatakan bahwa Uni Soviet muncul sebagai kekukatan Heartland besar pertama, dengan besar, dengan penduduk yang terorganisir politis meruapakn ancaman bagi seluruh dunia yang lain.
  3. Karl Haushofer (1896-1946) Karl Haushofer seorang jendral German yang menyuarakan kepentingan Jerman untuk memperluas tempat hidupnya dimana populasi Jerman dan sumber daya alam bisa diakomodasi. Selain itu, Haushofer juga menyatakan hegemoni regional yang sama dapat didirikan di sekitar negara kuat, misalnya ia mencontohkan Pan Germanism atau Pan-Europe milik Jerman.
Akhirnya, dalam konseptualisasi geopolitik sebagai ‘penalaran yang tersituasi’, perspektif kritis juga berusaha untuk berteori sosio-spasial lebih luas dan keadaan technoterritorial pengembangan dan penggunaan. Sebagai rasionalitas praktis yang ditujukan untuk berpikir tentang ruang dan strategi dalam politik internasional, geopolitik secara historis sangat terlibat dalam apa yang Foucault (1991) mengistilahkan ‘governmentalisasi negara.’ Pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Apa yang dimaksud dengan jalan menuju kebesaran nasional bagi negara ? ‘(pertanyaan kunci untuk Alfred Mahan),’ Apa hubungan terbaik dari sebuah negara untuk wilayahnya dan bagaimana negara dapat tumbuh? “(pertanyaan mendasar untuk Friedrich Ratzel), dan ‘Bagaimana negara direformasi sehingga yang kerajaan dapat diperkuat ‘(Mackinder’s question) adalah pertanyaan pemerintah praktis memotivasi para pendiri dari apa yang kita kenal sebagai “klasik geopolitik”. Sejarah dari pemecahan masalah praktis pengetahuan statis terikat dengan pembentukan negara dan kerajaan dan teknik kekukasaan yang memungkinkan bagi mereka untuk mengembangkan wilayah dan masyarakat untuk manajemen dan kontrol. (Ó Tuathail dan Dalby, 1998).

Wawasan nasional adalah cara pandang suatu bangsa yang telah menegara tentang diri dan lingkungan dalam eksistensinya yang serba terhubung (interaksi dan interelasi) serta pembangunan di dalam bernegara di tengah-tengah lingnkungan baik nasional, regional, maupun global. Wawasan nasional suatu bangsa dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dianutnya.
Paham-paham kekuasaan:
1. Paham Machiavelli, menurut paham ini, sebuah negara akan bertahan apabila menerapkan dalil-dalil berikut.
a. Segala cara dihalalkan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan
b. Untuk menjaga kekuasaan/rezim, politik adu domba (devide et impera) adalah sah
c. Dalam dunia politik, yang kuat pasti dapat bertahan dan menang
2. Paham Napoleon Bonaparte
Paham ini menyebutkan bahwa perang di masa depan merupakan perang total yang mengerahkan segala daya upaya dan kekuatan nasional. Napoleon berpendapat kekuatan politik harus didampingi dengan kekuatan logistik dan ekonomi yang didukung oleh sosial budaya berupa ilmu pengetahuan dan teknologi
3. Paham Jendral Clausewitz
Paham ini menyebutkan bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain. Baginya peperangan adalah sah-sah saja untuk mencapai tujuan nasional suatu bangsa.

WAWASAN NASIONAL INDONESIA





A.PAHAM KEKUASAAN

Wawasan nasional Indonesia dikembangkan berdasarkan wawasan nasional secara universal sehingga dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dipakai negara Indonesia. Bangsa Indonesia yang berfalsafah dan berideologi Pancasila menganut paham tentang perang dan damai berdasarkan :”Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Dengan demikian, wawasan nasional bangsa Indonesia tidak mengembangkan ajaran kekuasaan dan adu kekuatan karena hal tersebut mengandung persengketaan dan ekspansionisme.
Indonesia menganut paham negara kepulauan berdasar Archipelago Concept yaitu laut sebagai penghubung daratan sehingga wilayah negara menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai tanah air dan ini disebut negara kepulauan. Bangsa Indonesia dalam menentukan wawasan nasional mengembangkan dari kondisi nyata. Indonesia dibentuk dan dijiwai oleh pemahaman kekuasaan dari bangsa Indonesia yang terdiri dari latar belakang sosial budaya dan kesejarahan Indonesia

B.TEORI GEOPOLITIK
Indonesia menganut paham negara kepulauan berdasar ARCHIPELAGO CONCEPT yaitu laut sebagai penghubung daratan sehingga wilayah negara menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai Tanah Air dan ini disebut negara kepulauan.

Batas Wilayah Indonesia (ketentuan dan isi ketentuannya)
a.       Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957  oleh Perdana Mentri Indonesia  pada saat itu Djuanda Kartawidjaj , adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar ( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut.
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Soeharto mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional.
b.      #UNCLOS 1982
Sebutan sebagai “bangsa pelupa” tampaknya harus segera disingkirkan dari jiwa masyarakat maritim Indonesia. Karena, akibat label “pelupa” itulah, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kerap terancam. Betapa tidak, terkatung-katungnya pembahasan Undang-undang Batas Wilayah dimanfaatkan negara tetangga untuk “mencaplok” wilayah NKRI. Sementara Indonesia sedang membenahi batas wilayahnya di laut, masalah-masalah sensitif di wilayah laut terus bermunculan. Kasus Ambalat memanas, misalnya, adalah bukti masih kentalnya lebel “bangsa pelupa”.
Selain itu, hantaman tsunami di Aceh dan Sumatera Utara juga harus disikapi secara serius, karena tergerusnya wilayah darat menjadi lautan. Tentu saja, perubahan geografis tersebut berdampak pada titik-titik koordinat geografis yang kemudian dijadikan garis pangkal (base line) yang selama ini dijadikan pegangan Pemerintah Indonesia dalam menetapkan atau mengadakan perjanjian batas wilayah dengan negara-negara tetangga di wilayah laut.
Permasalahan batas wilayah ini harus menjadi perhatian utama pemerintah, yang dalam hal ini adalah pekerjaan Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai leading sector dalam border diplomacy sesuai dengan UU No 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Selain itu, Deplu juga harus dibantu oleh lembaga-lembaga terkait, seperti Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Tanah (Bakosurtanal) dan Dinas Hidrografi-Oceanografi TNI AL (Dishidros).
Pengaturan UNCLOS 1982
Penetapan batas wilayah dan yurisdiksi negara merupakan hal yang sangat penting dan strategis sekaligus sensitif, karena berkaitan dengan pengaturan permasalahan kedaulatan (sovereignity), hak-hak berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) suatu negara terhadap zona-zona maritim sebagaimana diatur dalam United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) atau yang lebih dikenal dengan “Hukum Laut Internasional”. (Etty R Agoes, 2004).
Adapun batas-batas maritim yang tertuang dalam UNCLOS 1982 meliputi batas-batas Laut Teritorial (Territorial Sea), batas-batas Perairan Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE (Economic Exclusive Zone), dan batas-batas Landas Kontinen (Continental Shelf). Dengan demikian, adanya kejelasan batas wilayah dapat dijadikan alat legitimasi dalam menjalin hubungan berbangsa dan bernegara. Selain itu, kejelasan batas wilayah tersebut juga dapat menciptakan kesejahteraan warga negara melalui terjaminnya pemanfaatan potensi sumber daya seperti kegiatan perikanan, eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai (off-shore), wisata bahari, transportasi laut dan berbagai kegiatan kelautan lainnya.
Namun demikian, secara umum dalam penetapan garis batas yang diatur UNCLOS 1982, suatu negara harus terlebih dahulu menentukan daftar titik-titik koordinat geografis yang menjelaskan datum geodetik. Selanjutnya, hasil kajian scientific negara pantai (coastal state) mengenai titik-titik koordinat geografis atau peta batas wilayah negara harus diumumkan dan didepositkan satu kopi atau turunan setiap peta atau daftar tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB.
Sedangkan secara khusus, pengaturan UNCLOS 1982 mengenai batas wilayah untuk masing-masing wilayah berbeda. Pertama, untuk laut teritorial. Penarikan garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial harus sesuai dengan ketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai, dan teluk atau garis batas yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut. Dan, penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, harus dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya (Pasal 16 ayat 1).
Kedua, untuk Perairan Zona Ekonomi Eksklusif. Penarikan garis batas terluar ZEE dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent), harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menentukan posisinya (Pasal 75 ayat 1).
Ketiga, untuk Landas Kontinen. Penarikan garis batas terluar landas kontinen dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent), harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penentuan posisinya (Pasal 84 ayat 1).
Perlu dicatat bahwa kewajiban pendepositan daftar koordinat geografis atau peta yang tertuang dalam sebuah peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan batas wilayah laut tidak hanya berkepentingan untuk suatu negara tersebut saja, akan tetapi juga berkepentingan bagi masyarakat dunia internasional. Hal ini dikarenakan, laut merupakan sea lane of communication (SLOC). Dengan demikian, meskipun terjadi perubahan status hukum di beberapa bagian dari perairan nasional suatu negara, tidak akan memengaruhi hak-hak lintas damai masyarakat internasional dalam melakukan pelayarannya.
Pengaturan Indonesia
Dari ketentuan UNCLOS 1982 di atas, sangat jelas bahwa masing-masing negara harus mempunyai daftar koordinat geografis atau peta wilayah. Termasuk Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, yang mempunyai perbatasan di wilayah laut dengan sepuluh negara tetangga, Australia, Timor Leste, Papua Nugini, Palau, Filipina, Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam dan India. Menurut Direktur Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan, Deplu, Arif Havas Oegroseno (2004), dari perbatasan dengan 10 negara tetangga, Indonesia telah menetapkan 4 prioritas utama penetapan batas maritimnya, yakni dengan Singapura, Malaysia, Filipina, dan Palau. Prioritas kedua dengan Timor Leste, dan prioritas ketiga dengan India, Thailand, dan Vientam. Sementara penentuan batas maritim dengan Papua Nugini dan Australia telah dilakukan, namun perjanjian dengan Australia pada tahun 1997 belum diratifikasi.
Beberapa dasar hukum nasional yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan perundingan batas wilayah, di antara: UU No 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen yang seharusnya segera diganti seiring dengan ratifikasi UNCLOS 1982, UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia beserta tiga Peraturan Pemerintah (PP) turunannya, antara lain PP No 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai melalui Perairan Indonesia, PP No. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) melalui ALKI yang ditetapkan, dan PP No 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE, UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Di samping itu juga terdapat sejumlah undang-undang dan keputusan presiden yang mengatur mengenai batas negara Indonesia secara spesifik serta Pasal 25 E UUD 1945 yang memberikan arahan mengenai bentuk instrumen hukum masalah penetapan perbatasan.
Sementara itu, yang patut kita pertanyakan pada pemerintah, apakah peraturan perundang-undangan nasional mengenai perbatasan wilayah laut, khususnya PP No 38 Tahun 2002 telah didepositkan ke Sekretaris Jenderal PBB. Kalau sudah, kita bisa bernapas lega karena mungkin tidak akan ada perubahan. Namun kalau belum, ini akan menjadi masalah berat bagi Pemerintah Indonesia karena harus bisa memberikan argumen yang kuat dengan kenyataan yang ada bahwa laut kita telah semakin menjorok ke wilayah darat. Dengan kata lain, bahwa beberapa wilayah daratan Indonesia telah menjadi wilayah lautan.
Sebagai penutup, penulis menyarankan bahwa pengaturan yang berkaitan dengan batas wilayah harus segera menjadi perhatian utama pemerintah. Khusus mengenai daftar koordinat geografis yang tertuang dalam PP No 38 Tahun 2002 sebaiknya segera didepositkan. Adapun untuk kekurangannya, didepositkan kemudian (menyusul), yaitu seperti permasalahan perbatasan dengan Malaysia pasca lepasnya Sipadan-Ligitan dan permasalahan perbatasan dengan Timor Leste dan Australia.http://arfiyan.blogdetik.com/2011/03/03/batas-wilayah-indonesia/
c.       TZMKO 1933
Dengan kembali mencuatnya kasus Ambalat ini, Menteri Pertahanan RI Juwono Sudarsono menegaskan bahwa meski kondisi ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia khususnya masyarakat di wilayah perbatasan Blok Ambalat masih minim, namun Indonesia tidak begitu saja terpengaruh manuver dan propaganda Malaysia apapun bentuknya.
Hal senada juga diungkapkan juru bicara Departemen Luar Negeri RI Teuku Faizas-yah yang mengatakan bahwa kedua negara sepakat mengedepankan perundingan bilateral dalam penyelesaian persoalan Blok Ambalat. Tulisan ini mencoba mengetengahkan permasalahan kasus Ambalat dari perspektif hukum yakni dengan mencermati peraturan nasional dan internasional yang menjadi dasar penyelesaian kasus Ambalat.
Selain itu perlu dicermati pula permasalahan Ambalat dari perspektif sosial politik. Hal ini karena kasus Ambalat tidak terlepas dari persoalan-persoalan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di wilayah Blok Ambalat. Sementara berkaitan dengan politik, perlu dicermati juga kemauan politik (good will) pemerintah RI untuk memberikan aksentuasi pada pembangunan dan pengawasan di wilayah perbatasan Blok Ambalat.
Perspektif Hukum Kasus Ambalat Kasus Blok Ambalat berkaitan dengan landas kontinen di dasar laut Sulawesi yang memang belum ditetapkan batas-batasnya oleh kedua negara. Dalam Hukum Internasional, setiap negara mempunyai kewenangan untuk menetapkan sendiri batas-batas wilayahnya.
Akan tetapi, karena semua negara di dunia secara geografis saling berhubungan dan berbatasan wilayahnya satu dengan yang lainnya, maka dalam menetapkan wilayah perbatasan tidak bisa melakukannya secara sepihak tanpa perjanjian dengan negara lain.
Untuk itu perlu kesepakatan di antara negara-negara dalam penetapan garis batas wilayahnya.
Penetapan garis batas wilayah suatu negara menjadi hal penting karena berakibat pada batas kedaulatan wilayah negara.
Garis batas dibuat berdasarkan landasan hukum yang jelas (Hukum Internasional), sebab pembuatan garis batas tersebut senantiasa akan menimbulkan akibat hukum, yaitu hak dan kewajiban, sehingga batas wilayah tersebut menimbulkan status hukum wilayah negara, baik darat, laut, atau udara. Pelanggaran terhadap hak dan kewajiban tersebut dapat dikenai sanksi, mulai dari sanksi yang ringan sampai kepada sanksi yang berat, sesuai dengan kedudukan garis batas tersebut serta bentuk pelanggaran yang dibuatnya.
Pada hakikatnya garis batas memiliki fungsi untuk memisahkan beberapa hak dan kewajiban masyarakat, anggota masyarakat ataupun negara atas suatu wilayah. Garis batas merupakan identifikasi adanya hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut dapat timbul berdasarkan hubungan hukum kelompok sosial masyarakat dengan wilayahnya, atau dalam skala yang besar seperti hubungan bangsa dengan wilayahnya dalam suatu negara, hubungan perdata (perjanjian) ataupun hubungan di bidang hukum publik.
Berkaitan dengan penetapan garis batas wilayah suatu negara, menurut pasal 2 Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982 yang dianggap sebagai wilayah negara, yaitu yang terdiri dari: (1) wilayah daratan, (2) perairan pedalaman, (3) khusus untuk suatu negara kepulauan: perairan kepulauan, dan (4) laut teritorial. Khusus laut teritorial, pasal 3 Konvensi 1982 menetapkan bahwa: “setiap negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil, diukur dari garis pangkal yang ditentukan”.
Selanjutnya mengenai zona laut/maritim, Konvensi Hukum Laut (UNCLOS)1982 memuat berbagai ketentuan yang mengatur penetapan batas-batas terluarnya (outer limit) dengan batas-batas maksimum sebagai berikut:
1. Laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara: 12 mil-laut
2. Zona tambahan dimana negara memiliki yuridiksi khusus: 24 mil-laut
3. Zona ekonomi eksklusif: 200 mil-laut
4. Landas kontinen: antara 200-350 mil-laut
Disamping itu konvensi 1982 juga menetapkan bahwa suatu negara kepulauan berhak untuk menetapkan:
5. Perairan kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya
6. Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya
Dalam sengketa antar negara mengenai wilayah negara di laut, secara khusus dalam kasus Blok Ambalat, dapatlah dikatakan bahwa yang dipersengketakan kedua negara adalah landas kontinen di dasar laut Sulawesi yang memang belum ditetapkan batas-batasnya oleh kedua negara.
Dalam putusan Mahkamah Internasional tentang kepemilikan Sipadan Ligitan beberapa tahun lalu, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa dengan jatuhnya Sipadan Ligitan dalam kedaulatan Malaysia, maka hal itu tidak secara otomatis dapat dipakai sebagai patokan untuk menetapkan batas laut termasuk landas kontinen untuk menetapkan batas wilayah perairan.
Hal ini sesuai pula dengan pasal 15 Konvensi 1982 yang menetapkan bahwa “Dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satu pun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan antar mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.
Tetapi ketentuan ini tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan konvensi”.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka Malaysia tidak dapat memakai patokan kasus Sipadan Ligitan untuk menetapkan batas laut termasuk landas kontinen sebagai dasar untuk mengklaim Blok Ambalat sebagai teritorialnya.
Selain itu secara yuridis, Blok Ambalat merupakan wilayah perairan Indonesia, yang telah diatur oleh beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan sejak zaman kolonial Belanda yakni Territorale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) 1933, Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 yang melahirkan konsepsi Wawasan Nusantara dan diterima oleh dunia internasional dalam Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Damai Kendaraan Air Asing dalam Perairan Indonesia, Keputusan Presiden RI Nomor 16 Tahun 1971 tentang Pemberian Izin Berlayar bagi segala Kendaraan Air Asing dalam Wilayah Perairan Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Peraturan perundang-undangan tersebut menjadi landasan justifikasi dan legitimasi Republik Indonesia atas wilayah Blok Ambalat.
Berdasarkan hal tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa setiap negara yang berwenang menetapkan batas-batas negaranya, wajib memperhatikan juga kewenangan otoritas negara lain. Sudah menjadi kelaziman internasional bahwa setiap wilayah di dunia selalu ada pemiliknya, tetapi garis batas mempunyai kedudukan sebagai hak bersama atau “res communes”.
Bagaimana tata cara menetapkan batas wilayah antara dua kesatuan hukum di laut, antara lain telah diatur secara garis besar dalam hukum internasional, khususnya Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam memutuskan sengketa perbatasan atau konflik laut/maritim, Mahkamah Internasional (International Court of Justice) selalu menggunakan sumber-sumber hukum internasional, yang terdapat dalam pasal 38 ayat (
1) Statuta Mahkamah Internasional (ICJ) yaitu konvensi/treaty, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum, keputusan-keputusan pengadilan/organisasi internasional yang kompeten. Dalam keputusan sidang International Court of Justice (ICJ) tahun 1951, ICJ berpendapat bahwa:
“The delimitation of sea areas has always an international aspect, it cannot be dependent merely upon the will of the coastal States as expressed in its munipical law. Although it is truethat the act of delimitation is necessanly a unilateral act, because only the coastal States is competen to undertake it, the vadility of the delimitation with regard to other States depens upon international law”.
Prinsip hukum internasional yang mengatur perbatasan antar negara berfungsi memberikan jaminan hukum bagi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber hayati dan non hayati negara pantai. Disamping itu hukum juga memberikan kewenangan bagi negara pantai untuk menegakan kedaulatan yang bertalian dengan pencegahan dan penegakan hukum atas laut/maritim.
Arti strategis dan potensi wilayah perairan nasional dibatasi oleh perjanjian-perjanjian antar negara dan ketentuan-ketentuan internasional lainnya, terkait dengan potensi kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Sebenarnya kasus Blok Ambalat ini tidak terlepas dari perebutan daerah cadangan blok minyak XYZ antara Indonesia dan Malaysia. Kedua negara telah memberi konsesi eksplorasi blok tersebut kepada perusahaan yang berbeda.
Sejak tahun 1966 Indonesia telah memberi konsesi pada perusahaan multinasional ENI dari Italia dan Chervon dari Amerika Serikat di Blok Ambalat, sementara Malaysia juga telah memberi izin kepada eksplorasi di tempat yang sama kepada Shell.
Semula hal ini tidak pernah dipersoalkan kedua negara, sampai kemudian Malaysia mengeluarkan Peta Maritim 1979, yang ditentang oleh Indonesia, Singapura, Vietnam, dan Cina. Maka terjadilah dua klaim yang saling tumpang tindih antara kedua negara (overlapping claim area).
Oleh karena itu dalam menyelesaikan sengketa Blok Ambalat, pemerintah RI mesti menggunakan cara-cara damai melalui diplomasi antar kedua negara, sehingga dapat mencegah penggunaan kekerasan atau perang. Penggunaan cara-cara diplomasi ditentukan pula oleh pasal 33 Piagam PBB yakni melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbritase, penyelesaian pengadilan, atau penyelesaian melalui agen-agen regional atau cara-cara lain menurut pilihan masing-masing negara.
Menurut penulis ada tiga cara diplomasi yang lebih tepat digunakan dalam penyelesaian Blok Ambalat yaitu:
a)      Negosiasi merupakan teknik penyelesaian sengketa yang tidak melibatkan pihak ketiga. Pada dasarnya negosiasi hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait yakni Indonesia dan Malaysia. Perbedaan persepsi yang dimiliki oleh kedua negara diharapkan akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Bilamana jalan keluar ditemukan kedua belah pihak, maka akan berlanjut pada pemberian konsesi dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
b)      Mediasi yang merupakan bentuk penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini pihak ketiga bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator). Seorang mediator memiliki peran yang aktif untuk mencari solusi yang tepat untuk melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa.
c)      Inquiry: ketika terdapat sengketa antara Indonesia dan Malaysia maka untuk menyelesaikannya sengketa tersebut, kedua belah pihak dapat mendirikan sebuah komisi atau badan yang bersifat internasional untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang relevan dengan permasalahan yang dipersengketakan.

Komisi atau badan ini sering disebut Komisi Pencari Fakta yang dengan dasar bukti-bukti yang dikumpulkannya, kemudian dapat mengeluarkan sebuah fakta yang sebenarnya dan disertai dengan penyelesaiannya.
Perspektif Sosial Politik Kasus Ambalat
Kasus Blok Ambalat seharusnya mendorong dan menggerakan kemauan politik (political will) yang lebih kuat dan terarah dari pemerintah RI untuk secara riil, koordinatif dan terfokus semakin memberikan aksentuasi pada pembangunan dan pengawasan di wilayah perbatasan, termasuk dan terutama di kawasan yang oleh suatu faktor tertentu dapat menjadi ‘lahan perebutan’ antar negara.
Kurangnya kemampuan pemerintah pusat membangun dan mengawasi wilayah perbatasan RI menjadi salah satu kelemahan fundamental yang mengakibatkan mudahnya terjadi tindak pencurian ikan (illegal fishing) ataupun pencurian dan penyelundupan kayu (illegal logging) serta berbagai kekayaan Indonesia lainnya.
Dari perspektif sosial-politik, hal ini sesungguhnya mencerminkan bahwa kedaulatan kita atas negara/wilayah sendiri masih sangat rapuh dan rentan, sehingga memungkinkan terjadinya pelanggaran perbatasan bahkan yang lebih merugikan lagi ‘pencaplokan wilayah perbatasan’ sebagaimana yang nyaris terjadi di Blok Ambalat.
Dari perspektif sosial, sebenarnya pemerintah hendaknya menginsyafi bahwa konstruksi sosial dan kultural masyarakat di daerah perbatasan (terutama yang terisolir dari berbagai dimensi: sosial, politik, ekonomi, komunikasi, dan sebagainya), sangat berbeda dengan masyarakat di dekat sentrum kekuasaan/pemerintahan.
Gradasi kesadaran sosial-politik masyarakat di Blok Ambalat dan sekitarnya tentu tidak sama kuat dengan masyarakat di pulau Jawa, begitupun dengan perasaan termajinalisasi dari proses pembangunan nasional yang begitu deras di Jawa.
Oleh karena itu sebagai bagian integral dari wilayah kedaulatan NKRI, pembangunan masyakakat dan pengelolaan segala sumber daya di wilayah-wilayah perbatasan memerlukan kerangka penanganan yang menyeluruh dengan mencakup berbagai sektor pembangunan secara terkoordinasi, baik dan efektif mulai dari tataran pemerintah pusat hingga level pemerintah daerah.
Implementasinya ditindaklanjuti dengan program dan kegiatan yang secara spesifik mampu menampung atau mengakomodasi nilai-nilai lokal, sehingga masyarakat di wilayah perbatasan tidak terpengaruh negara tetangganya yang berbatasan langsung. Dengan demikian pengelolaan perbatasan bukan hanya sekadar menegaskan garis batas wilayah negara, melainkan juga harus dipikirkan bagaimana cara mengelola penduduk di wilayah perbatasan tersebut agar bersifat kondusif dan positif-konstruktif bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
 PENGERTIAN WAWASAN NUSANTARA

         Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungan sekitarnya berdasarkan ide nasionalnya yang berlandaskan pancasila dan UUD 1945 (Undang-Undang Dasar 1945) yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, bermartabat serta menjiawai tata hidup dalam mencapai tujuan perjuangan nasional.
Wawasan Nusantara telah diterima dan disahkan sebagai konsepsi politik kewarganegaraan yang termaktub / tercantum dalam dasar-dasar berikut ini :
- Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tanggal 22 maret 1973
- TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 tanggal 22 maret 1978 tentang GBHN
- TAP MPR nomor II/MPR/1983 tanggal 12 Maret 1983

Landasan Wawasan Nusantara
a.  Napoleon Bonaparte (abad XVIII)
Perang di masa depanmerupakan perang total, yaitu perang yang mengerahkan segala daya upaya dan kekuatan nasional. Napoleon berpendapat kekuatan politik harus didampingi dengan kekuatan logistik dan ekonomi, yang didukung oleh sosial budaya berupa ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa untuk membentuk kekuatan pertahanan keamanan dalam menduduki dan menjajah negara lain.
b.  Jendral Clausewitz (abad XVIII)
Dia menulis sebuah buku tentang perang yang berjudul “Vom Kriegen”. Menurut dia perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain. Buat dia perang sah-sah saja untuk mencapai tujuan nasional suatu bangsa.
c.  Lenin (abad XIX)
Memodifikasi teori Clausewitz dan teori ini diikuti oleh Mao Zhe Dong yaitu perang adalah kelanjutan politik dengan cara kekerasan. Perang bahkan pertumpahan darah atau revolusi di negara lain di seluruh dunia adalah sah, yaitu dalam rangka mengomuniskan bangsa di dunia.

 Latar belakang

Falsafah pancasila
Nilai-nilai pancasila mendasari pengembangan wawasan nasional. Nilai-nilai tersebut adalah:[2]
1.      Penerapan Hak Asasi Manusia (HAM), seperti memberi kesempatan menjalankan Ibadah sesuai dengan Agama masing- masing.
2.      Mengutamakan kepentingan masyarakat daripada individu dan golongan.
3.      Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

e)      Asas Wawasan Nusantara
Merupakan ketentuan-ketentuan dasar yang harus dipatuhi, ditaati, dipelihara dan diciptakan agar terwujud demi tetap taat dan setianya kompenen pembentuk bangsa Indonesia terhadap kesepakatan bersama. Asas wawasan nusantara terdiri dari;
a.       Kepentingan atau tujuan yang sama,
b.      Keadilan,
c.       Kejujuran,
d.      Solidaritas,
e.       Kerjasama,
f.       Kesetiaan terhadap kesepakatan.
  Arah Pandang Wawasan Nusantara.

Dengan latar belakang budaya, sejarah serta kondisi dan konstelasi geografi serta memperhatikan perkembangan lingkungan strategis, maka arah pandang wawasan nusantara meliputi :
1. Ke dalam
Bangsa Indonesia harus peka dan berusaha mencegah dan mengatasi sedini mungkin faktor-faktor penyebab timbulnya disintegrasi bangsa dan mengupayakan tetap terbina dan terpeliharanya persatuan dan kesatuan. Tujuannya adalah menjamin terwujudnya persatuan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional baik aspek alamiah maupun aspek sosial.
2. Keluar
Bangsa Indonesia dalam semua aspek kehidupan internasional harus berusaha untuk mengamankan kepentingan nasional dalam
 
  Kedudukan dan Fungsi Wawasan Nusantara.

Kedudukan Wawasan Nusantara Wawasan Nusantara merupakan ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat dengan tujuan agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam rangka mencapai dan mewujudkan tujuan nasional. Wawasan Nusantara dalam paradigma nasional dapat dilihat dari hirarkhi paradigma nasional sbb: Pancasila (dasar negara)
UUD 1945 (Konstitusi negara)
Wasantara (Visi bangsa)
 Landasan Idiil
Landasan Konstitusional
Landasan Visional
- Ketahanan Nasional (Konsepsi Bangsa) = Landasan
Konsepsional
- GBHN (Kebijaksanaan Dasar Bangsa) = Landasan
Operasional.
  Tujuan Wawasan Nusantara
Tujuan wawasan nusantara terdiri dari dua, yaitu:
  1. Tujuan nasional, dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945, dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah "untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial".
  2. Tujuan ke dalam adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi kepentingan nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia.