IBNU C.R

IBNU C.R

Minggu, 27 Februari 2011

Untuk Apa Demokrasi, Kalau





http://imnbanten.files.wordpress.com/2007/09/demokrasi41.jpg
Sumber gambar: http://imnbanten.files.wordpress.com/2007/09/demokrasi41.jpg
Pidato kenegaraan Pak SBY tadi pagi menyatakan bahwa negara kita, Indonesia, sudah dikenal sebagai negara demokrasi terbesar setelah India dan Amerika. Ini merupakan keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan perubahan demokrasi yang fundamental. Bangsa Indonesia pun telah membongkar dan membangun, telah melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap tatanan dasar dalam kehidupan politik, sosial, hukum, dan ekonomi, serta telah melakukan tiga pemilu yang jujur dan adil. Tak mengejutkan kalau ada yang mengatakan bahwa ini sesungguhnya adalah revolusi diam-diam, atau the quiet revolution. Saya sendiri baru tahu istilah “Revolusi diam-diam” ini.
Yang menakjubkan, semua proses politik itu berlangsung dalam waktu relatif singkat tanpa menimbulkan gejolak atau guncangan sosial yang serius, kecuali pada periode awalnya. Pelaksanaan demokrasi telah mengubah banyak hal. Kini, rakyatlah yang berdaulat, bukan lagi sekelompok orang yang mengatasnamakan rakyat. Demikian beberapa isi dari pidato Pak SBY tadi.
Demokrasi memang hidup sukses di negeri ini, melebihi batas-batas kemampuannya, namun apakah ini bisa disebut sebagai prestasi? Untuk menjawabnya perlu penelitian yang serius dan cermat. Tapi secara kasat mata, demokrasi gagal atau berhasil dalam menata kehidupan masyarakat ini bisa dijawab berdasarkan fakta-fakta berikut.
Pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan salah satu wujud dari lahirnya demokrasi itu di seluruh pelosok negeri ini. Semua orang bebas berekspresi mendukung dan menjadi calon-calon penguasa di daerahnya. Namun apa yang terjadi ketika salah satu calon keluar sebagai pemenang? Calon yang kalah pun berusaha mengklaim kalau kemenangan lawan politiknya itu tak sah. Banyak tuduhan yang dilontarkan, mulai dari politik uang hingga penggelembungan jumlah suara. Akhirnya, konflik pun tak terhindarkan. Para simpatisan pun gontok-gontokan membela calon masing-masing. Demokrasi pun dianggap sebagai pemicu konflik. Bahkan ada yang memplesetkannya menjadi democrazy.
Demokrasi juga hidup sukses di lembaga perwakilan rakyat. Masing-masing wakil rakyat bebas menggunakan hak suaranya, mengungkapkan ekspresinya, dan melontarkan kritik pedasnya ketika sidang berlangsung. Namun terkadang, suara yang dilontarkan juga suka berlebihan hingga berkesan tak punya etika dan sopan santun.
Demokrasi juga tak berpihak pada rakyat kecil, meski mereka bebas bersuara menyuarakan nasibnya, tapi tak ada artinya jika tak didengar penguasa. Lihat saja, unjuk rasa menuntut penyelesaian Lumpur Lapindo sudah berkali-kali dilakukan di depan istana dan instansi-instansi terkait lainnya. Namun hasilnya apa? Tak pernah terdengar lagi langkah penyelesaiannya. Saya tak tahu apa pemerintah putus harapan atau tak ada jalan keluar sama sekali.
Parahnya, demokrasi pun makin kebablasan ketika orang-orang tertentu bebas menghakimi dan menghujat golongan-golongan tertentu, agama tertentu, dan suku bangsa tertentu. Kebebasan berekspresi atas nama demokrasi itu tak diiringi dengan kedewasaan berpikir, seakan-seakan mereka bebas melontarkan apa saja pada pihak lain tanpa berpikir dampak dan konsekuensinya. Pokoknya asal nyablak, namanya juga zaman demokrasi.
Kesuksesan demokrasi di negeri Republik ini memang patut diacungi jempol, tapi untuk apa kalau malah memecah belah masyarakat. Untuk apa demokrasi kalau pengangguran tak mampu dituntaskan, harga-harga kebutuhan pokok makin tinggi, rakyat kecil dan miskin tak mendapatkan pembelaan dan kepastian hukum, korupsi tak bisa dibasmi, biaya pendidikan makin mahal, macet makin menggila dan merajalela, jaminan kesehatan masih di awang-awang, dan kemiskinan masih menghantui masyarakat. Seharusnya keberhasilan demokrasi digunakan untuk mendengar jeritan rakyat yang makin terpuruk dari waktu ke waktu, untuk kemudian diperbaiki secara nyata. Kalau disuruh pilih, antara beras murah dan demokrasi, pasti rakyat akan pilih beras murah, pasti itu.

http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://stat.kompasiana.com/files/2010/08/demokrasi41.jpg&imgrefurl=http://politik.kompasiana.com/2010/08/16/untuk-apa-demokrasi-kalau/&usg=__gBT4xDiqmKkoM9u2P2Uhv_EsWpY=&h=1200&w=1600&sz=1228&hl=en&start=5&zoom=1&itbs=1&tbnid=dvoC9yFxX-sLlM:&tbnh=113&tbnw=150&prev=/images%3Fq%3Ddemokrasi%26hl%3Den%26biw%3D1366%26bih%3D621%26gbv%3D2%26tbs%3Disch:1&ei=XFVqTfjiEYiGrAehtoHGCw

Sabtu, 26 Februari 2011

Komnas HAM

Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan kesimpulan awal tentang kasus kekerasan yang dialami warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Terjadinya pelanggaran HAM, kesalahan intelijen polisi, dan adanya pengerahan massa yang terorganisir adalah hasil dari penyelidikan awal dari Komnas HAM.

"Berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM tentang kekerasan Cikeusik, Banten, terjadi banyak pelanggaran yang terjadi di sana," ujar Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim.

Hal tersebut dikatakannya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komnas HAM dan Komisi XIII DPR tentang 'Perkembangan tentang berbagai kasus di Cikeusik, Temanggung, dan Pasuruhan' di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (23/2/2011).

Menurut Ifdhal, ratusan massa yang mendatangi Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten diduga
dilakukan dengan cara terorganisir dan sangat rapi. "Lalu intelijen polisi diduga juga tidak mampu mengatasi dan memperkirakan pergerakan massa dalam jumlah yang besar," kata Ifdhal.

Massa yang datang tersebut, lanjut Ifdhal, sebagian besar tidak berasal dari warga Ciekusik, Banten, melainkan berasal dari daerah-daerah sekitar Cikeusik. "Pemicu serangan tidak berasal dari warga Cikeusik, tapi dari luar Cikeusik," jelasnya.

Akibat kekerasan yang dilakukan terhadap warga Ahmadiyah, Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM.

"Pelanggaran hak hidup, hak beragama dan beribadah, hak rasa aman, dan hak atas milik pribadi," terangnya.

Pada Senin (20/2) kemarin, Komisi III DPR telah melayangkan undangan untuk rapat dengar pendapat dengan Komnas HAM.Komnas HAM diminta membeberkan hasil penyelidikan sementara kasus kekerasan di Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Untuk kasus bentrokan antara warga dengan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten terjadi pada Minggu (6/2). Tiga orang anggota Ahmadiyah tewas dan 5 orang lainnya luka-luka. Polri sendiri telah menetapkan sembilan tersangka yakni AD, D, UJ, KE, KM, KMH alias M, S, YA alias I dan KHU. Untuk menyelidiki kasus ini, Komnas HAM telah membuat tim khusus.
(fiq/fay)


  http://m.detik.com